3. APA YANG DIMAKSUD AS DALAM AJARAN
SETYA HATI
a. Biasanya kalau kita mendengar
kata ”as”, maka akan terbayang pada kita (asosiasi) ”sebuah roda”, lengkap
dengan as/poros, ruji-ruji, velg dan bannya. Kemudian terbayang selanjutnya
roda itu dalam fungsinya, ”berputar” menurut putaran as-nya sebagai suatu
totalitas.
b. Sesuatu ang bergerak atau berputar itu sudah barang tentu ada yang
menggerakkan atau memutarnya. Dalam hal ”roda” yang menggerakkan atau memutar
”as”.
As
merupakan tempat kedudukan dan sumber, dimana gerakan memutar berawal dan memusat. Dalamhal ini biasanya yang
kita perhatikan sehari-hari hanya benda yang bergerak atau berputar itu saja.
Jarang terlintas pada perhatian kita ”yang menggerakkan” atau ”yang memutar”.
Padahal sesuatu ”yang bergerak” itu tidak terpisah dari ”yang menggerakkan”.
Dengan kata lain ”yang menggerakkan” itu senantiasa menyertai gerakan,
termasuk juga ”yang digerakkan”.
Diibaratkan :
- Daun yang bergerak itu tidak terpisah
dari angin
yang meniup menggerakkannya -
Pernah
terlintas pada kesadaran kita, bahwasanya semua perbuatan kita, baik yang
nampak maupun yang tidak nampak, tidak pernah terlepas dari ”YANG MENGGERAKKAN
KITA”?
c. Kembali pada masalah ”roda”.
Sbagai totalitas ”aroda” melingkupi ban,
velg, ruji-ruji dan as. Unsur ruji-ruji semua memusat dan berpusat di as. Pada
proses ”roda sedang berputar”, kita lihat kejadian sbb :
(1) Jika
dilihat dari luar :
Ban memutar,
karena putaran velg. Velg berputar,
karena putaran ruji-ruji. Ruji-ruji bergerak memutar karena putaran as. Dalam
hbungan ini ”as” atau ”poros” berfungsi sebagai pusat atau sumber gerak-mutar roda
melalui ruji-ruji kearah velg dan bannya. Didalam as akan terdapat titik pusat
yang tiada gerak.
(2) Jika dilihaat dari dalam :
As
bergerak-mutar ruji-ruji. Ruji-ruji memutar velg, selanjutnya memutar ban.
- As adalah tempat kedudukan, dimana suatu proses berputar dan memusat
d. Apabila proses itu gerak-mobah-molah manusia, maka ”AS”nya adalah
”Jantung” manusia itu sendiri. ”Jantung” manusia adalah ”SUMBER” daripada ”daya
hayati hidup”, atau ”SUMBER” daripada
”RAHSA” manusia itu sendiri. Diawali dengan gerak-denyut atau
gerak-getar JANTUNG, mulai berfungsilah seluruh alat-sarana dan alat-peraga
manusia sesuai dengan tugas masing-masing. Jika Jantung berhenti
berdenyut/bergerak, berhentilah seluruh hidup dan kehidupan manusianya.
Manusianya dinyatakan ”mati” atau ”meninggal(-kan) dunia”.
e. Didalam JANTUNG di PUSAT-nya bersemayam yang disebut ”HATI-SANUBARI, PRIBADI ATAU RASA JATI. HATI
SANUBARI tiada gerak, namun menumbuhkan seluruh gerakan ”DIRI”, diawali di
JANTUNG, berupa gerak denyut dan gerak-getar. Gerakan itu kemudian menebar
keseluruh anggauta tubuh secara menyeluruh sebagai getaran atau gerakan hidup.
Dalam hubungan ini HARI SANUBARI berfungsi sebagai SARANA TUHAN untuk
memancarkan SINAR SIFAT HAYATINYA. Namun HATI SANUBARI berperan pula sebagai
”WARANA” atau ”TIRAI” antara insan
dengan YANG KHALIK.
Coba renungkan
dn bayangkan :
1. Jika gerak-mutar velg atau ban atau
ruji-ruji itu terlepas meninggalkan as atau porosnya.
2. Jika gerak –mobah-molah diri dalam
mengejawantahkan kehendak-keinginan atau akal-fikiran itu terlepas meninggalkan
hati sanubari atau hati nurani. (Bacalah SAPTA-WASITA-TAMA dalil ke-3)
4. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL
a. Sebagai makhluk individu
(1) Seseorang sebagai individu harus sadar, bahwasanya ia sesungguhnya
hanyalah sebuah ”pensil”, yang hanya bisa bergerak menulis, kalau dituliskan.
Jika tiada yang menuliskan, pensil akan menggeletak saja. Tiada sebuah pensil
bisa menulis sendiri. Sedangkan tulisan yang dibuat oleh si pensil bukanlah
semata-mata milik si-pensil tetapi milik yang menuliskan. Pensil hanya
”sadermi” (berbuat demi). Meski hasil tulisannya itu indah atau tidak baikpun,
pensil tidak perlu bangga atau kecewa, karena bukan miliknya.
(2) Ini semua berarti, bahwasanya manusia sebagai individu itu
se-sungguhnya tidak bisa hidup dengan sendirinya, tanpa adanya ”yang
menghidupi” atau ”yang menghidupkan”.
Jadi semua
hasil perbuatan manusia, apakah itu merupakan sukses ataukah kegagalan,
janganlah didaku sebagai milik sendiri secara mutlak. Pendakuan secara mutlak,
dengan cara bagaimanapun akan membelenggunya lahir-bathin.
Manusia
sebagai individu itu sesungguhnya hanyalah suatu ”obyek” daripada ”SUBYEK
MUTLAK”, ialah YANG MAHA ESA. Oleh karena itu kita tidak perlu congkak atau sombong kalau nasib kita
sedang beruntung. Sebaliknya kita tidak perlu pula kecewa, berkecil hati atau
putus asa, kalau nasib kita sedang sial atau sedang dirundung malang. Ingat
dalil ke-6 :
- Barang siapa mengaku hasil karya menjadi miliknya, ia akan terbelenggun olehnya lahri-bathin.
(3) Berhubung dengan itu perlu kita
mengenal diri-pribadi kita sendiri, supaya kta dapat dan mampu menentukan sikap
kita yang wajar terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan (omgeving). Untuk
dapat mengenal diri-pribadi kita sendiri, kita harus selalu mawas diri, suapaya
tidak terlepas dari AS, dari SUMBER, dari IMAN, tetapi selalu berada di AS dan
berpinjak dalam AS. Ini berarti pula, bahwa segala amal-perbuatan kita keluar,
ialah amal-perbuatan ”lahir”, selalu berlandaskan SUMBER, sedang amal-ibadah
kita kedalam, yang bersifat ”bathin” menuju kembali kepada ”SUMBER”.
Dengan
demikian semua perbuatan kita , baik yang mengarah keluar maupun yang mengarah
kedalam, berpusat dan memusat di SUMBERm berpusat dan memusat di AS, berpusat
dan memusat di HATI SANUBARI. Sesungguhnya yang demikian itu ialah penghaayatan
atau pelaksanaan IMAN DAN TAUKHID.
b. Sebagai makhluk social
(1) Sebagai makhluk ”sosial” manusia itu dititahkan berlingkungan atau
barmasyarakat. Kita dimana saja dan kapan saja, tidak bisa terlepas daripada
masyarakat dalam lingkungan kita. Kita itu merupakan unsur penting dal;am
kesatuan lingkungan masyarakat kita sendiri-sendiri. Adapun kesatuan masyarakat
dalamlingkungan kita itu berwujud keluarga, teman sekerja, rukun tetangga, rukun
warga (kampung), suku, bangsa dst.
(2) Dalam kesatuan lingkungan masyarakat kita tidak boleh tenggelam begitu
saja didalammnya, tetapi kita harus dapat bebas serta aktif, berpartisipasi
demi kebaikan totalitas masyarakat itu. Dalam hubungan ini kita dipengaruhi,
tetapi juga mempengaruhi, kita bisa diisi tetapi bisa mengisi lingkungan.
Tinggal kita sendiri itu ”obyek” atau ”subyek” dalam lingkungan. Kita sendiri
itu ”as” ataukah sebuah ”ruji” dalam lingkungan kesatuan ”roda”.
(3) Apabila kita mampu memancarkan ”pribadi” kita dan kita tidak terlepas
dari AS atau HATI SANUBARI, kita akan
ber”pribadi”, ber”wibawa” dan selalu akan menjadi ”subyek” daripada lingkungan
sekeliling kita, dikarenakan ”PRIBADI” atau ”HATI SANUBARI” itu senantiasa
memancarakan sinar ”kewibawaan”.
Sebaliknya jika kita terlepas dari ”AS”, kita akan tergilas dan
tenggelam dalam lingkungan dan akan menjadi ”obyek” belaka. Disamping itu perlu
disadari pula, bahwa ”omgeving/lingkungan” itu bisa menjadi ”tirai” atau
”aling-aling” antara diri-pribadi dengan TUHAN. Padahal seharusnya omgeving
atau lingkungan itu harus menjadi ”tombol” atau ”drukknop” antara diri-pribadi
dengan TUHAN. Dengan hidup dalam omgeving dan karena omgeving kita sekaligus
merasakan ”ADANYA TUHAN, KEAGUNGAN TUHAN dan KEMURAHAN TUHAN.
5. Penghayatan
a. Suatu ”ajaran” atau ”tuntunan” betapapun
baiknya, tiada berarti dan tiada faedah sedikitpun, jika tidak dihayati dan
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengayatan secara sungguh-sungguh dan
tepat lagi mantap serta dilakukan secara berturut-turut dan teratur akan
membangkitkan kesan-kesan mendalam, karena pengalaman-pengalaman diri-pribadi
secara komplit yang diperolehnya.
b. Apabila yang dihayati itu sendiri sesuatu
yang positif, sudah barang tentu hasilnya akan positif pula. Sebaliknya, jangan
mengharapkan suatu hasil yang positif, jika yang dihayati itu negatif.
- Tiada
orang mencangkul hasilnya sabitan, dan tiada orang yang menyabit hasilnya
cangkulan. -
Dalam hal ini akan berlaku apa
yang diamanatkan para sesepuh : ”Ngunduh wohing panggawe(-ne) dewe” yang
berarti : ”Semua akan memetik hasil dari perbuatannya sendiri”.
c. Pengahayatan yang dilakukan secara
teratur, berturut-turut, teliti dan tepat tanpa mengenal bosan, akan membentuk
suatu adat kebiasaan atau ”pakulinan”. Lebih-lebih kalau penghayatannya
dilakukan secara mantap dengan kebulatan tekad.
d. Adat kebiasaan atau ”pakulinan” yang
positif tidak akan memberi kesempatan berkembangnya ”adat kebiasaan” atau
”pakulinan” yang negatif., bahkan akan melenyapkannya walaupun sedikit demi
sedikit.
e. Penghayatan secara berturut-turut dan
teratur dengan irama sesungguhnya sudah merupakan ”latihan-latihan”. Biasanya
pada tahap pertama semua ”latihan” itu dirasakan berat, karena belum dimulai.
Namun sekali salah satu kaki diangkat untuk melangkah maju , yang lain akan
segera mengikutinya. Yang pokok semua penghayatan itu harus dilakukan secara
ikhlas, tiada rasa terpaksa atau dipaksa.
f. Agar penghayatan bisa tepat dan seksama
maka melakukannya harus teliti dengan mengamati proses yang dilakukannya
sebaik-baiknya. Semua itu harus menjadi ”pakulinan” atau dikatakan ”otomatis”,
sehingga istilah ”berat” atau ”sulit”, tiada diketemukan lagi.
g. Dengan landasan ajaran-ajaran seperti yang
dikemukakan dalam SAPTA-WASITA-TAMA disertai dengan penghayatan-penghayatan
yang mantap, kita akan mampu menentukan sikap kita secara wajar terhadap diri
kita sendiri menghadapi masyarakat-lingkungan kita sebagai unsur yang
menentukan, sebagai ”subyek” betapapun situasi dan kondisinya.
h. Salah satu cara menghayati dalil ke-7
SAPTA-WASITA-TAMA akan diungkap lebih lanjut dalam TUNTUNAN KE-III dengan
bentuk ”PERNAFASAN MENURUT AJARAN SETYA HATI”.
Sesungguhnya cara pernafasan ini melandasi ”MAWAS DIRI/INTROSPEKSI”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar