1.
SAPTA WASITA TAMA PEDOMAN HIDUP SETYA HATI
a. Tiada maksud mengurangi hak azasi masing-masing penganut sesuatu agama
atau sesuatu keyakinan / kepercayaan demi kehidupan kerokhaniannya, SETYA HATI
mengajarkan 7 (tujuh) buah dalil, disebut SAPTA-WASITA-TAMA,
yang berbunyi :
(1) Tuhan menitahkan/menciptakan alam semesta seisinya hanya dengan
SABDA. Sebelum di-SABDA (dumadi), alam sesisinya ada pada YANG MENYABDA.
(2) Setelah alam-seisinya ada (di-SABDA),
TUHAN menyertai SABDANYA.
(3) Barangsiapa meninggalkan AS,
tergilaslah ia oleh
sekelilingnya, (omgeving, lingkungan).
(4) Barangsiapa meninggalkan keseimbangan,
tergelincirlah ia.
(5) Barangsiapa melupakan / meninggalkan permulaan, ia tak akan dapat meng-akhirinya.
(6) Barangsiapa mengaku hasil
karya menjadi miliknya, terbelenggulah
ia olehnya lahir-bathin.
(7) Barangsiapa selalu melatih merasakan RASANING RASA (merasakan sumber-RASA),
insya-ALLAH ia akan kerasa ing ROSING
RASA (terasa atau merasakan INTI PUSAT daripada RASA, atau yang disebut
RASA-JATI, sejatining RASA.
SAPTA-WASITA-TAMA
ini telah diungkap secara ringkas dan padat dalil demi dalil dalam PANDANGAN HIDUP dan PEDOMAN HIDUP
SETYA-HATI.
b. Jika diamati secara keseluruhan, dalil-dalil SAPTA-WASITA-TAMA
itu diliputi dan diserapi oleh kabut-suasana serta kabut cahaya
ADANYA YANG MAHA ESA, dimana manusia
sebagai CIPTAAN TUHAN dapat
menempatkan dirinya dan bagaimana menentukan sikap diri-pribadinya terhadap
SANG PENCIPTA didalam dan dalam hubungannya dengan lingkungan/omgeving.
c. Dalil-dalil SAPTA-WASITA-TAMA perlu
diresapkan dan diresapi secara mendalam, disadari arti dan maknanya untuk
dihayati secara mendalam, disadari arti dan maknanya untuk dihayati dan diamalkan
sebagai amal ibadah kita terhadap TUHAN serta sebagai amal bakti kita terhadap
omgeving yang berwujud masyarakat, NUSA, BANGSA dan NEGARA.
d. SAPTA-WASITA-TAMA diajarkan dengan maksud,
agar justru dapat membantu memantapkan iman, iman kepada YANG MAHA ESA.
Disamping itu pula, agar dapat digunakan sebagai tongkat perjalanan hidup dan dapat memupuk terhadap diri-pribadi dalam
menghadapi perlbagai tantangan hidup, menghadapi serta mengarungi pasang-surut
gelombang kehidpan.
2. LANDASAN DAN TUJUAN TATA-KEHIDUPAN SETYA
HATI
a.
Landasan
(1) Seperti
yang telah kami ketengahkan, SETYA-HATI melandaskan pandangan hidupnya atas :
DIRI SETYA KEPADA HATI-SANUBARI dengan pengertian, apa yang disebut HATI-SANUBARI
atau PRIBADI itu selalu berkiblat
menghadap kepada SUMBER, SESUATU yang diyakini sebagai awal-tolak dan
akhir-tjuan sema hidup dan kehidupan. HATI SANUBARI adalah SARANA TUHAN untuk
MENYATAKAN DIRINYA dalam WAHYUNYA. Karena HATI-SANUBARI dapat dianggap sebagai
DUTA BESAR BERKUASA PENUH untuk ke TUHAN dan dari TUHAN. Sesungguhnya WARANA
atau TIRAI TUHAN dalam hubngannya dengan insannya pun HATI-SANUBARI. (Maka
sering dinyatakan : Cedak tanpa senggolan
atau Dekat, namun tak singgng-menyinggung).
(2) Pada
hakekatnya manusia hidup itu
berdiri dan berpribadi. Diri dengan pribadi mewujudkan satu totalitas,
satu keutuhan bulat. Manusia hidup
dalam wujud diri-pribadi itu bukan
jumlah daripada bagian-bagian semata-mata (som der delen) namun lebih daripada
itu.
(3) Adapun
yang disebut dengan diri itu sendiri merupakan satu totalitas juga. Suatu
keutuhan-bulat yang meliputi badan wadag, jasad atau tubuh dengan
anggota-anggota tubuh beserta panca indera, akal pikiran, kehendak-keinginan,
hawa nafsu dan lain sebagainya.
Tubuh dengan anggota tubuh
berfungsi sebagai wadah,
sebagai alat peraga, sedang panca indera, akal pikiran, kehendak-keinginan,
hawa nafsu dsan sebagainya, berperan sebagai alat sarana.
Walaupun demikian, satu sama lain kait-mengait, isi mengisi, Bantu
membantu secara gotong royong yang sangat sempurna menurut fungsi masing-masing
dalam satu koordinasi yang teratur baik untuk mewujudkan suatu keutuhan
gerak-mobah-molah dibawah satu komando. Proses ini kesempurnaannya tiada tara, karena semua unsur berfungsi dalam
TATA-WISESA-TUHAN.
(4) Untuk
memudahkan memahami pengertian “diri”
dalam hubungannya dengan “pribadi” ialah kalau kita memahami fungsi
masing-masing. Ciri khas fungsi masing-masinglah yang menentukan peran-khas
masing-masing sebagai totalitas dan dalam totalitas.
“Diri” mempunyai fungsi
beraspek jasati (stoffelijk), jadi pada umumnya orientasinya bersifat “lahir”.
Gerak-mobah-molak diri mengarah berkiblat kepada omgeving. Biasanya
gerak-mobah-molah itu berwujud tingkag-laku, langkah-usaha, makarya dalam
rangka mempertahankan diri dan mengusahakan kesejahteraan demi kelangsungan
hidupnya. “Diri” adalah sesungguhnya “aku” atau “ego” daripada manusianya.
Dalam pada itu yang disebut dengan “hati-sanubari” atau “pribadi” fungsinya
beraspek “rokhani”, bertempat kedudukan di PUSAT JANTUNG dengan orientasi dan
arah-kiblat kepada SUMBER, YANG MAHA ESA. “Hati-sanubari” atau “pribadi” adalah
sesungguhnya ingsun atau Super-ego daripada manusianya.
(5) Yang
perlu juga kita sadari ialah, bahwasanya baik “diri” maupun “pribadi”
alat-peraganya hanya satu, yaitu tubuh atau badan manusianya.
Padahal tubuh atau badan itu
tidak mungkin digunakan bersamaan sekaligus dalam waktu dan tempat yang sama
oleh “diri” atau “pribadi” masing-masing sendiri-sendiri. Akibatnya salah satu
harus “ngalah” atau “kalah”. Kalau “diri” menang karena “pribadi” diam,
mengalah (untuk sementara), maka tubuh atau badan mewujudkan sifat-sifat dari
“aku”. Sebaliknya jika “diri” dapat disudutkan atau kalau mungkin dapat
dikuasai oleh “pribadi” dalam arti diluluhkan dalam “hati-sanubari”, maka
gerak-mobah-molah manusianya akan menejawantahkan sifat-sifat “ingsun”, yang
berwujud keadilan, kebenaran, kejujuran, tepasarira serta budi-luhur.
(6)
“Pribadi” pada dasarnya mengejawantahkan rasa pangrasa halus dan mendalam, rasa
“kasukman”. Oleh karenanyarasa ini sering dinyatakan sebagai RASA SEJATI
atau “SEJATINING RASA”. Rasa ini sulit, bahkan sesungguhnya tidak mungkin diterangkan
dengan kata-kata atau dilukiskan dengan sesuatu gambaran. Namun demikian “Rasa”
ini akan dapat dicapai dengan melalui penghayatan-penghayatan dalam bentuk
latihan-latihan yang tekun, teliti dan teratur, tiada bosenan, atau lekas
memburu hasil. (Dipersilahkan memahami dan menghayati dalili ke-7
SAPTA-WASITA-TAMA)
(7)
Sifat-sifat Pribadi atau Hati-Sanubari dapat disanepkan sebagai ”air”. Air
selalu berusaha kembali kepada sumbernya ialah ”lautan”. Sumber, sebagai awal
mula asal daripada ”air” ialah ”laut” atau ”samodra”. Terik matahari
menyebabkan air laut menguap. Uap kemudian diangkut oleh angin ke tempat-tempat
dimana tekanan udaranya rendah. Uap air membeku, menjadi titik-titik air,
menetes di gunung-gunung atau di ngarai-ngarai sebagai hujan. Tetes-tetes air
hujan itu selanjutnya mengumpul menjadi kali dan berusaha mengalir lagi ke
laut, kembali dalam sumber-asalnya.
Walalupun diusahakan dibendung, air akan berusaha menembus atau menjebol
bendungan itu. Kalau dengan menembus atau menjebol tidak mungkin, air akan
berusaha melintasinya. Kalau melintasinya pun tidak mungkin, air akan mengambil
jalam meresap. Namun demikian dalam keadaan bagaimanapun air tetap akan
berusaha kembali mengumpul dalam sumbernya ialah ”lautan”. Demikian pula halnya
dengan ”Pribadi”. Betapapun decegahnya atau dirintanginya dengan segala daya –
upaya, ”Pribadi” tetap akan kembali pada SUMBER-nya, ialah YANG MAHA ESA,
PENCIPTA alam seisinya.
b. Tujuan
Dengan landsan ”DIRI SETIA
KEPADA HATI-SANUBARI” kita menuju akan tercapainya :
(1) Sehat Jasmani
(2) Sehat
materiil-financiil (yang merupakan kesejahteraan lahir)
(3) Sehat-mental-spirituil
(menyangkut kesejahteraan bathin)
Ketiga unsur pokok tujuan
tersebut diatas harus pula merupakan totalitas, satu keutuhan-bulat, dimana
unsur-unsur itu harus kait-mengkait, seim- bang dan serasi. Unsur yang satu
tidak boleh dilepaskan atau dipisahkan dari unsur yang lain. Keseimbangan serta
keserasian ketiga unsur dalam satu totalitas itulah yang akan mewujudkan yang
disebut ”kesejahteraan lahir-bathin”.
Keseimbangan lahir dan bathin
itu akan terjangkau, apabila kita selalu menempatkan diri-pribadi kita pada As
dan dalam As, yang sesungguhnya ini berarti berdiri diatas ”IMAN DAN TAUKHID”
Kata ”sehat” ini tidak berarti
berlebih-lebihan, namun tidak merasa kekurangan, tetapi cukup memberi kemampuan
dan memungkinkan melakukan kegiatan-kegiatan yang wajar sesuai dengan
vitalitas, stamina dan kapasitas.
Tuntunan ini kok di publikasikn ini kn rahasia di kecer di sh trah mbah munandar baru bisa
BalasHapusSaya rasa tidak setuju di publikasikn
BalasHapusHal2 yg baik kenapa tidak boleh...ajaran SH itu sifatnya universal walaupun semua itu butuh pembimbing yg sesuai dgn ahlinya.
BalasHapusSetuju,, SH untuk manusia dan demi kemanusiaan,,,,
HapusMas yang menulis artikel ini mohon maaf tapi kita ini begitu buanyak agama, itu mas menulis dlm versi agama islam tp gpp karena sebagai pedoman serta pembelajaran bagi kita pembaca. Mks
BalasHapus